Kunikahi Gadis Cantik Anak Seorang Nelayan

Cerita ini adalah fiktip dan hanya karangan belaka. Tidak ada unsur kesengajaan dalam penulisan cerita ini. Jika ada kesamaan, baik nama, kisah, atau tempat kejadian dalam cerita ini, hanyalah faktor kebetulan saja. Cerita ini hanya untuk hiburan dalam mengisi waktu senggang. Selamat menikmati.

Di kesempatan itu, saya yang memiliki hobi foto-foto, memotret keindahan alam tersebut. Banyak yang saya potret, mulai dari pantainya, para nelayannya, perahunya, hingga ikan hasil tangkapan para nelayan pun saya potret

Episode 1

Perkenalkan nama saya Sarto. Tinggal di Jakarta. Saya tinggal bersama Ayah, Ibu, dan satu adik lelaki bernama Dinan.

Ayahku bernama Kuncoro, seorang pengusaha sukses yang memiliki tiga perusahaan perdagangan di daerah Jakarta. Ayah mempercayakan tiga perusahaan kepada para karyawannya. Sehingga Ayah lebih banyak memantau para orang kepercayaannya dari rumah saja. Di rumah, Ayah memiliki satu ruangan khusus sebagai tempat aktifitasnya.

Ibuku bernama Rita. Hanya ibu rumah tangga biasa saja. Namun, Ibu sangat memperhatikan segala keperluan kami, mulai dari memasak, menyiapkan sarapan, beres-beres rumah, dan lainnya, karena kami tidak memiliki asisten rumah tangga.

Dalam suatu waktu, saya pergi berlibur ke sebuah pantai di daerah Kabupaten Karawang Jawa Barat. Tempat tersebut berbatasan dengan Kabupaten Subang.

Di tempat itu, setiap pagi dipenuhi para nelayan yang akan berangkat ke laut untuk mencari ikan. Ada juga nelayan yang baru pulang dari laut dikarenakan berangkat malam dan baru tiba di pagi harinya.

Di kesempatan itu, saya yang memiliki hobi foto-foto, memotret keindahan alam tersebut. Banyak yang saya potret, mulai dari pantainya, para nelayannya, perahunya, hingga ikan hasil tangkapan para nelayan pun saya potret.

Satu perahu kecil milik nelayan yang hampir tiba di darat, menyita perhatian saya untuk memotretnya.

Perahu itu mulai tiba di darat dan disambut oleh seorang gadis berambut panjang yang nampak riang gembira.

Kemudian gadis itu menyalami dan membantu menurunkan hasil tangkapan ikan dari seorang bapak tua.

Saya memanfaatkan momen tersebut untuk terus memotret mereka.

Tapi tiba-tiba, gadis itu menoleh ke arah saya dan seketika wajah sumringahnya berubah menjadi ketus.

Saya perhatikan gadis dan bapak nelayan itu terlibat obrolan pendek, sepertinya mohon ijin kepada bapak itu lalu beranjak menghampiri saya.

Gadis itu bertanya, "kamu sedang apa di sini?"

Saya pun menjawab, "tempat ini indah dan saya menyukainya. Maka saya banyak memotret."

"Boleh saya lihat?" tanya gadis itu.

"Oh, boleh. Silahkan," saya pun menyodorkan kamera dan memberikannya kepada dia.

Kemudian gadis itu berusaha melihat isi kamera saya, namun sepertinya dia merasa kesulitan untuk membukanya.

"Ini gimana cara lihatnya?" tanya gadis itu.

Spontan saya tertawa dan membantunya menyalakan kamera agar dia bisa melihat semua isi gambar di dalam kamera itu.

 "Kamu tinggal arahkan panah kanan atau kiri ini saja untuk melihat banyak gambar. Kalau kamu ingin memperbesar gambarnya, tinggal pijit panah atas saja dan sebaliknya jika ingin mengecilkan gambar, pijit panah bawah," saya berusaha menjelaskan kepada gadis itu.

Dia pun mulai melihat-lihat dan kemudian menemukan gambar wajahnya.

"Kenapa ada gambar saya disini. Tolong hapus ya. Kamu tidak boleh mengambil gambar saya tanpa ijin," ketus gadis itu.

"Oh, iya. Biar saya hapus. Maaf ya," ucap saya dan langsung menghapus sesuai perintah gadis itu.

"Tuh ini udah saya hapus ya," saya pun menunjukan kepadanya.

Kemudian dia pergi meninggalkan saya dan kembali kepada bapak nelayan tadi untuk membantunya.

Saya pun berinisiatif menghampiri mereka untuk meminta maaf kedua kalinya.

"Maaf pak, perkenalkan nama saya Sarto. Saya dari Jakarta dan sedang berlibur di sini. Saya ingin minta maaf kepada bapak karena tadi saya sudah memotret tanpa ijin," sembari menyodorkan tangan saya kepada bapak tua itu.

Bapak itu pun menyambut sodoran tangan saya dan memaafkan saya.

"Iya, tidak apa-apa," ucap bapak itu seraya merayu gadis itu untuk mau memaafkan juga.

Bapak itu berkata, "gadis ini anak saya, namanya Rini. Ayo kamu maafkan dia."

Rini pun berjabat tangan dengan saya tanpa berkata sepatah katapun.

"Ya sudah, bapak mau dorong perahu dulu. Ayo Rini bantu bapak," pinta bapak kepada Rini.

"Saya boleh ikut bantu dorong pak," secara spontan saya menawarkan diri.

"Boleh, ayo sini," bapak mengajak saya.

Saya pun ikut mendorong perahu mereka hingga ke tempat parkir yang biasa mereka pakai tak jauh dari bibir pantai.

Setelah selesai parkir, merekapun pamitan pulang kepada saya tanpa basa basi dan saya membalas dengan anggukan.

Saya kembali berjalan dan berkeliling sambil memotret semua keindahan yang ada di sepanjang pantai itu.

Tanpa terasa, hari mulai sore menuju gelap. Saya merasa kurang puas dan sepertinya masih ingin berada di sini lebih lama.

Saya pun lupa selama seharian belum ada makanan dan minuman yang masuk ke perut. Dan kini saya merasa haus serta lapar.

Konsentrasi saya saat ini adalah mencari warung. Tapi ternyata tidak ada sama sekali. Daerah ini nyaris mati setelah gelap.

Saya jadi gemetar dan takut. Tempat ini gelap dan hanya ada beberapa rumah saja dengan jarak yang agak berjauhan satu sama lainnya.

Saya jadi bingung, tadi sore ketika terang, masih banyak orang. Tapi sekarang saat gelap tidak ada satupun. "Kemana mereka semua perginya," saya bertanya dalam hati.

"Saya harus tidur dimana? Bagaimana nasib saya malam ini tanpa air dan makanan? Gimana kalo terjadi apa-apa sama saya. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat," pikiran saya mulai kacau.

Saya pun memutuskan untuk menghampiri salah satu rumah. Rumah itu terbuat dari bilik. Tidak besar dan tidak juga kecil. Dan didepan rumah itu ada bale terbuat dari bambu seukuran ranjang tidur. Saya berpikir ini akan aman buat saya menumpang di bale ini.

"Apakah saya harus meminta ijin dulu kepada pemilik rumah ini atau tidak usah saja?" tanya saya kepada diri sendiri.

"Kalau saya minta ijin, takutnya nanti tidak boleh dan saya diusir. Dan kalau saya diusir, mau kemana lagi saya, karena cuma rumah ini yang ada balenya," pikiran saya berkecamuk.

"Ah, mending tidak usah," saya pun dengan sangat perlahan dan hati-hati duduk di bale itu tanpa suara karena takut ketahuan pemilik rumah.

Di dalam rumah, terdengar percakapan dua orang sedang mengobrol. Sepertinya salah seorang menawarkan makan kepada lawan bicaranya. "Bapak ayo makan dulu," nampak jelas suara seorang perempuan.

Seketika mendengar kata makan, perutku spontan berbunyi 'kruk...Kruk...kruk'

Tapi bunyi perutku ini kenapa suaranya kencang dan berisik sekali. Apakah karena situasinya terlalu hening atau karena memang sangat lapar. Tapi ini beda, suaranya kencang sekali.

Saya pun memegang perut dengan kedua tangan dan agak sedikit membungkukkan kepala sembari mataku melihat ke arah perut. Nampak terucap dalam bibir untuk segera berhenti bunyi.

"Bapak, sepertinya ada orang di luar. Siapa ya, tumben. Selama ini tidak pernah ada yang datang malam-malam ke rumah kita," nampak terdengar perempuan itu bertanya kepada lawan bicaranya dengan sebutan bapak.

"Biar bapak lihat ke luar," jawab bapak itu.

"Hati-hati pak, siapa tau orang jahat," ucap perempuan itu.

"Siapa di luar? Siapa di luar? Siapa di luar?" Tiga pertanyaan dilontarkan bapak itu, tapi saya tidak berani menjawab dan bahkan memilih untuk tidak bersuara.

Saya mulai keringat dingin dan sangat merasakan rasa takut yang hebat. Saya pun hanya pasrah saja dengan apa yang akan terjadi.

Saking rasa takut bercampur lapar ditambah kekacauan pikiran yang tidak beraturan, akhirnya saya tidak sadarkan diri lagi.

Sayup-sayup terdengar orang sedang berbicara. Mata saya terbuka perlahan dan melihat ada dua orang sedang berdiri memandangi saya.

Kemudian salah satu dari mereka berkata, "syukurlah kamu sudah sadar."

"Dimana saya dan kenapa ada disini?" saya bertanya kepada mereka.

"Kamu di rumah bapak. Tadi kamu pingsan. Tapi syukurlah sekarang kamu sudah sadar. Sekarang kamu duduk dan minum air hangat ini untuk memulihkan ingatanmu," ucap bapak itu sembari membantu saya untuk bisa duduk.

Saya pun minum air hangat itu dan menghabiskannya perlahan-lahan. "Alhamdulillah, air ini nikmat sekali. Terima kasih ya Allah, Engkau sudah mengirimkan orang baik kepada saya, amin."

Bapak dan perempuan itu nampak terheran-heran memandangi saya dan kemudian bertanya. "Kamu bisa ingat bapak nak? Bapak yang tadi pagi kamu temui di pantai. Dan ini Rini anak gadis bapak. Kamu yang tadi pagi membantu bapak mendorong perahu. Sekarang kamu pasti ingat kan."

Saya pun memandangi mereka dan berusaha untuk mengingat. "Ya ampun, ini bapak sama Rini yang tadi pagi ya. Masya Allah. Terimakasih bapak, terimakasih Rini. Terimakasih Ya Allah sungguh Engkau maha baik dan maha penolong. Engkau kirimkan orang-orang baik untuk menolongku. Terimakasih Ya Allah," saya pun menitikkan air mata sembari mencium tangan bapak itu.

"Sudah, sekarang kamu baik-baik saja. Ayo kita makan sekalian sama kami. Bapak tau kamu pasti kelaparan."

"Beneran pak. Saya diajak makan. Alhamdulillah Ya Allah."

Dan kami pun makan bertiga. Dalam momen makan malam itu, tanpa kami sadari, suasana menjadi hangat penuh dengan tawa. Kami menjadi akrab dalam sekejap.

Rasanya riang gembira yang saya rasakan malam ini. Perasaan nyaman dan damai sedang berpihak kepada saya. Terkadang bapak berguyon dan melucu sehingga membuat kami tertawa terbahak-bahak.

(bersambung ke episode 2)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال